Thursday, June 3, 2010

Sedikit Tentang Sastra Priyayi Sebagai Bagian Sastra Jawa

Oleh: Rachmat Budi Muliawan

Pada peralihan abad 19 dan awal abad ke 20 terjadi perubahan penting dalam masyarakat Jawa, termasuk masyarakat Kejawen di Surakarta dan Yogyakarta, yaitu menurunnya peranan kaum bangsawan dan naiknya kaum priyayi.

Dalam sistem simbol, priyayi dari luar Kejawen sudah lebih dahulu dalam membebaskan diri dari dominasi budaya Jawa Klasik yang dikuasai oleh kraton.

Sastra Priyayi muncul di daerah Kejawen, baru kemudian disusul oleh daerah-daerah lainnya. Kejawen, terutama Surakarta, mempunyai keunggulan komparatif dalam perkembangan sastra, karena ia mempunyai peranan besar dalam kelangsungan tradisi besar sastra Jawa serta mempunyai kelembagaan pujangga kraton. Demikian juga di surakarta telah didirikan Institut Voor de Javaansche Taal oleh pemeritah Hindia Belanda yang mempunyai peranan penting dalam dokumentasi, inventarisasi dan memajukan sastra Jawa. Sejak pertengahan abad ke 19 di Surakarta sudah ada majalah Bramartani. yang memungkinkan adanya perkembangan sastra di luar Kraton. Perlu ditambahkan juga adanya penerbit-penerbit swasta di Surakarta yang bergerak di bidang jurnalistik dan sastra, sebelum adanya Balai Pustaka. Pada waktu kepujanggaan kraton dinyatakan berakhir dengan mangkatnya Ranggawarsita (1874) peranan dari sastra luar kraton menjadi semakin penting.

Di bawah ini akan diuraikan secara sekilas perbedaan antara sastra kraton dan sastra priyayi, serta sastra priyayi dengan sastra Jawa baru sesudahnya. Dan akan sedikit disuguhkan contoh dari sastra priyayi, terutama tentang pandangan priyayi yang diutarakan lewat karya-karya sastra.

Pembagian sastra ke dalam tiga jenis ini tentu saja agak tidak konsisten, karena memakai ukuran-ukuran non literer di satu pihak, seperti ukuran basis sosial dan pandangan hidup untuk sastra kraton dan sastra priyayi, dan memakai ukuran yang sama untuk sastra Jawa baru tetapi menyebutnya dengan istilah "baru". Sastra kraton adalah sastra bangsawan, sastra priyayi iyalah sastra priyayi, dan sastra baru adalah sastra wong cilik. Kita menyebut "baru" semata-mata karena sastra ini kemudian menjadi milik bersama, setelah sistem status ditinggalkan oleh masyarakat Jawa.

Sastra kraton mencerminkan pandangan hidup kaum bangsawan. Klo kita percaya pada sosiologi pengetahuan, maka sastra kraton pasti mengandung ajaran-ajaran kaum bangsawan feodal yang memberi prioritas pada teologi dan etika. Sastra kraton ditandai dengan serat-serat wulang dalam dua bidang itu. Serat Wirid Hidayat Jati dari Ranggawarsita berisi ajaran suluk dalam arti sebagaimana guru tarekat akan mengajarkan ilmu tarekat kepada sulik. Dr. Simuh thn 1988 telah membuat studi yang lengkap tentang buku itu, terutama dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran mistik Islam Kejawen. Ajaran tentang Tuhan, manusia, budi luhur, rahasia ghaib, makrifat, dan hubungan guru-murid. Dalam riwayat hidupnya, Ranggawarsita memang dikenal sebagai pujangga yang juga berguru pada tradisi pesantren dan melalui karangan-karangannya tradisi pesantren masuk istana raja. Pihak istana rupanya menyetujui masuknya mistik semacam itu, sebab para priyayi Jawa tidak tertarik pada ajaran Syariat. Dalam serat Wedhatama, Mangkunegara IV menyatakan bahwa menghadap raja lebih penting dari pada menghadap Tuhan, politik lebih penting dari pada agama. Sebagia putra priyayi, dikatakannya, adalah hina untuk menjadi rais yang memimpin kenduri.

Serat kraton lainnya, dapat diwakili oleh Trapama Mangkunegara IV dan Wulang Reh Pakubuwono IV. Tripama rupanya lebih ditujukan kepada prajurit, barang kali untuk pedoman hidup anggota Legiun Mangkunegara, lebih dari pada untuk penduduk sipil pada umumnya. Cita - cita untuk nuhoni trah utama bagi kaum bangsawan adalah kewajiban, sedangkan bagi abdi dalem nggayuh utama merupakan cita - cita yang terpuji. Contoh - contoh Tripama juga diambil dari mitologi wayang, terutama para tokoh yang gugur di medan perang untuk tujuan-tujuan terpuji, seperti tokoh Kumbakarna pada saat labuh nagari, membela negara. Etika prajurit seperti itu seperti etika prajurit profesional. Ajaran dalam Tripama tentu saja sesuai dengan kepentingan kelangsungan hidup dari kerajaan-kerajaan kejawen waktu itu. Cita - cita yang sama juga tercatat dalm Wulang Reh. Kitab Wulang Reh menekankan pentingnya perbedaan status sosial antara wong agung dan wong asor, tidak dalam artian etika, tetapi dalam artian derajad sosial. Kedudukan raja yang mutlak dinyatakan dengan ungkapan mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung . Kedudukan raja yang dapat memberikan apa saja kepada siapa saja, kehormatan, kekayaan, pangkat, ditekankan dalam Wulang Reh. Semua golongan lainnya hanyalah ngawulang ratu. Konsep raja-dewa ini nampaknya menjadi lebih penting lagi untuk disebar luaskan, karena pada abad ke 18 dan ke 19 kedudukan raja-raja Jawa sudah mengalami kemerosotan. Kemerosotan politik raja, rupanya juga menyebabkan merosotnya moral masyarakat. Wulangreh menyatakan betapa masyarakat tidak lagi berupaya mencari kebenaran, dikatakan bahwa dahulu murid ngupoyo guru, tetapi pada zaman Pakubuwana IV zaman sudah berubah, sehingga kiai guru naruthuk ngupoyo murid. Dapat diduga bahwa akibat merosotnya wibawa raja, masyarakat tidak lagi memegang nilai-nilai, sehingga perilaku mereka melewati batas, adigang adigung adi guna. Tidak ragu-ragu lagi, lepasnya daerah mancanegara dan pesisir ke tangan Gubernemen dan dipakainya aturan-aturan legal rasional di daerah-daerah itu, telah memilukan hati raja-raja kejawen. Nanti, Pakubuana X menjadi raja yang terkenal dengan kunjungan ke daerah-daerah Gubenemen pada awal abad ke 20, barangkali untuk menyebarkan pengaruh Kejawen dan moralitas Jawa. Dan semua itu terjadi setelah Kalatidha menyatakan zamannya sebagai zaman edan.

Yang diramalkan oleh Ranggawarsita sebagai Zaman Edan barangkali ialah munculnya kelas sosial baru, yaitu priyayi. Sekalipun bahkan Tripama sudah menyebut istilah priyayi untuk keturunan bangsawan, tetapi priyayi baru muncul akibat masuknya kekuasaan pemerintah Kolonial. Itulalah yang dimaksud oleh Ranggawarsita dalam Jaka Lodhang dengan wong agung nis gungira, wong kang cilik tan toleh ing cilikira. Ranggawarsita yang mewakili sensibilitas bangsawan merasa sedih melihat campurtangan kolonial dalam pemberian gelar, terutama untuk mereka yang bekerja di bawah Gubernemen. Akhir abad ke 19 campur tangan kolonial sudah meliputi soal-soal seperti pengangkatan patih , organisasi keamanan, anggaran belanja Mangkunegaran, penghapusan sistem apanse dengan sistem gaji. Sekalipun dalam hal ini Mangkunegaran lebih banyak mendapat campurtangan dari pada Kasunanan, wibawa dua kerajaan Jawa itu sudah turun sama sekali. Bahwa tidak ada lagi pujangga menunjukkan hilangnya kraton sebagai pusat kebijaksanaan.

Munculnya sastra priyayi nampak dalam suasana seperti itu. Padmasusastra semula adalah juga abdi dalem yang mengakhiri kariernya sebagai jaksa pada umur 42 tahun, dan memaklumkan diri menjadi orang merdeka. Dengan kata lain, ketika Ngabei Kartipradata berubah menjadi Ki Padmasusastra, ia mengganti statusnya dari abdi dalem menjadi priyayi, ketika ia mendapatkan pekerjaan baru sebagai juru tulis dan guru bahasa Jawa di Meester Cornelis. Pernyataannya sebagai tiyang merdika ingkang marsudi kasusastran Jawi disadari atau tidak telah membuka babak baru dalam sejarah sastra Jawa. Babak baru ini -kita sebut saja- adalah sastra priyayi. Sastra priyayi dapat dilihat dari latar sosial pengarang, yaitu kemandiriannya atau terlepasnya pengarang dari patronase kraton. Mistisisme tidak lagi dominan, etika satria digantikan etika priyayi, cita-cita nggayuh utami dalam artian nilai-nilai sosial kraton digantikan dengan cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Apabila sastra priyayi itu memuat petuah-petuah, maka pada umumnya ialah petuah bagaimana orang dapat mendapatkan kedudukan sebagai priyayi, sekalipun ia berasal dari wong cilik. Kesadaran tentang perubahan sosial, adanya mobilitas vertikal, sangat disadari oleh para pengarang sastra priyayi.

Kapan munculnya sastra priyayi secara kronologis sulit ditetapkan. Dari beberapa tulisan, bahwa yang di sebut JJ. Ras sebagai Sastra Jawa Modern ialah sastra priyayi. Sememtara pengetahuan sastra dan penelitian tentang sastra akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 belum begitu banyak, dan beberapa ahli menyebut periode itu dan ganre sastra yang lahir pada kurun itu sebagai Sastra Priyayi. Sebelum sampai pada sedikit contoh, beberapa buku akan disebut di bagian ini. Kunci dari jenis sastra ini ialah adanya sensibilitas kepriyayian, dalam arti ada kepekaan priyayi mengenai kemasyarakatannya.

Rupanya masalah kemajuan bangsa Jawa menjadi cita-cita dasar dari sastra priyayi. Dalam penerbitan terjemahan Serat Pamoring Jaler Estri yang dibuat untuk warga perkumpulan kaum priyayi Abipraya, disebutkan secara khusus bahwa usaha terjemahan buku-buku Belanda penting untuk jalaraning kemajenganipun bangsa kulo tetiyang Jawi. Buku yang diterjemahkan bertanggal 11 Robiulawal, Alip,1835 atau 15 Juni 1905 itu memuat lukisan etnografis mengenai hubungan laki-laki dan perempuan pada banyak suku, seperti Bali, Seram, Maori, Jepang, Mentawai, Dayak, Batak, Philipina, Tahiti, Indian Amerika. Rupanya maksud buku, selain untuk mengantarkan soal pengetahuan etnografi, juga untuk menumbuhkan rasa kesopanan (a sense of decency) dalam hubungan suami istri yang orang Jawa ternyata mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik dibanding banyak suku-suku lainnya. Dalam tema yg sama sebuah buku yang ditulis oleh seorang dengan nama samaran Suwarta Bab Alaki Rabi : Wayuh Kaliyan Mboten (1912), mencoba menganjurkan monogami bagi para priyayi. Rupanya kritik buku ini ditujukan kepada kebiasaan kaum bangsawan yang mempunyai lembaga selir dalam perkawinan dan juga kepada para " kyai haji " yang suka kawin lebih dari satu. Seluruh buku ini dijejali contoh contoh orang yang sengsara karena mempunyai selir atau berpolygami. Etika baru, monogami, akan menjamin kehidupan suami-istri yang berbahagia. Cita cita akan kesetiaan suami - istri dan jodoh atas pilihan sendiri, juga menjadi isi dari novel pendek Mas Wiryaasmara yang menulis Rara Rarasati 1916 . Buku ini ditulis oleh seorang mantri guru, contoh khas bagi priyayi alit. Dalam cerita yang hampir naif itu diceritakan tentang kemenangan cinta sejati Rarasati pada suaminya , Sabar, orang-orang kecil di pedesaan. Idealisasi tentang gadis desa yang sangat cantik dan pemuda desa yang cakap di luar imajinasi orang desa, terasa seperti mitos arkadian dari orang-orang kecil yang mulai tercabut dari akar pedesaannya. Kebudayaan kraton dengan kebiasaan mengambil perempuan desa sebagai klangenan, akhirnya dikalahkan oleh cinta sejati Rarasati dan Sabar. Sabar akhirnya bahkan menjadi raja menggantikan raja lalim yang mempunyai istri sebagai klangenan, dan mereka berdua hidup sebagai raja dan permaisuri, setelah melalui kepandaian Rarasati, raja lalim itu terbunuh. Dan tanpa sedikitpun raja berhasil menyentuh kulit Rarasati. Novel pendek Rara Rarasati yang ditambah dengan subjudul "katresnan kang andadeake kamulyan" itu jelas merupakan tulisan dari orang kecil yang mengalami mobilitas sosial. Menjadi mantri guru atau menjadi mantri bookhouder klas III, rupanya menjadi kepuasan tersendiri, dan merekapun mencari identitas tersendiri sebagai klas sosial baru. Cita-cita tentang mobilitas sosial masih berkembang sebagai muatan sastra priyayi hingga tahun 1925-1930. Kisah-kisah itu semua memberikan petuah atau wulang tentang perilaku yang baik supaya orang dapat naik ke atas dalam jenjang sosial. Rupanya mereka masih begitu percaya bahwa kejujuran, cinta, kerja keras , keuletan, memberikan jalan terbuka bagi orang kecil untuk naik ke kelas priyayi . Sastra priyayi dapat kita anggap berakhir, ketika tahun-tahun 1930 an, kedudukan priyayi sudah menjadi semakin kuat dengan kemenangan pergerakan nasional atas budaya-budaya lokal.

Dengan demikian, Sastra Baru dalam sastra Jawa sudah sepenuhnya mulai. Tokoh-tokoh dari orang kecil tidak lagi dibayang-bayangi oleh kelas sosial di atasnya. Mereka sudah sibuk dengan mengurus masalah-masalah yang muncul dari dalam kelas sosial itu. Sastra wulang tidak lagi menjadi bagian penting dari sastra Jawa. Tema-tema baru seperti novel detektif sudah mulai nampak, dan pengaruh dari sastra Indonesia dan sastra asing sudah kelihatan. Tulisan ini tidak akan melanjutkan pembicaraan tentang Sastra Baru, karena tentang hal ini sudah banyak tulisan dan dokumen-dokumen yang sangat baik.


Jogya, 06 Maret 2010

0 komentar:

Post a Comment

Surat Wasiat

Surat Wasiat
Cartoon by Vladimir Kazanevsky